Panggung performa seni kontemporer menjadi wadah bagi gagasan inovatif yang menggugah pemikiran masyarakat. Pada malam 11 Juli 2025, karya tari “Ruwat” besutan seorang koreografer berbakat menjadi salah satu highlight di Jogja National Museum, Yogyakarta, dalam rangkaian ARTJOG 2025.
“Ruwat” merupakan manifestasi perjalanan sang koreografer bagaimana menafsirkan dan melestarikan tradisi tari Jawa di era modern. Karya ini menjadi bagian dari tema besar ARTJOG tahun ini, yaitu Motif: Amalan, yang berlangsung dari 20 Juni hingga 31 Agustus 2025, menyajikan beragam seni visual dan pentas performa setiap akhir pekan.
Makna dan Proses Karya “Ruwat”
Karya “Ruwat” dibangun dari kegelisahan dan refleksi yang mendalam. Sang koreografer berbagi bahwa gagasan ini telah muncul sejak dua tahun yang lalu, berangkat dari keinginan untuk mengeksplorasi bagaimana tradisi dapat diadaptasi dan tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari. “Saya berasal dari Solo dengan latar belakang tari tradisi, dan ini adalah upaya saya untuk menyelam lebih dalam ke dalam akar budaya saya,” jelasnya.
Proses kreatif “Ruwat” melibatkan kolaborasi dengan muridnya, Dainta, yang kini tinggal di Jakarta. Mereka melakukan dialog melalui gerakan tari, menggali makna mendalam tentang bagaimana orang-orang di luar tradisi Jawa bisa merasakan dan mengekspresikan nilai-nilai budaya tersebut. Pengalaman ini mengajak kita untuk merenungkan, seberapa jauh kita mampu memahami dan menginternalisasi budaya yang bukan berasal dari kita.
Simbolisme dalam Karya dan Penerapannya di ARTJOG 2025
Dalam pertunjukan ini, penggunaan properti lidi bukan sekadar alat, melainkan simbol penting. Dalam budaya Jawa, lidi sering dianggap sebagai penolak bala, yang dalam konteks “Ruwat” berfungsi untuk menciptakan batas ruang dan membuka kemungkinan baru. Sang koreografer menjelaskan, “Saya menggunakan lidi sebagai simbol ‘ruwat’; upaya untuk membersihkan diri dari energi negatif dan untuk mengingat kembali tradisi yang mendasari praktik saya.”
Menariknya, penampilan “Ruwat” di ARTJOG adalah versi ketiga dari pertunjukan ini, setelah sebelumnya ditampilkan di Jakarta dan Padang. Namun, penambahan elemen multimedia dalam karya ini memperkaya narasi yang ingin disampaikan. Dengan latar putih yang menciptakan suasana terbuka, Boby berharap penonton dapat merasakan kedinamisan yang ditawarkan melalui pertunjukan ini.
Korelasi dengan tema besar ARTJOG yang diusung yaitu “Amalan” membuat Boby merasa bahwa proses berkesenian di dalam karya ini adalah refleksi dari pencarian spiritual dirinya dan masyarakat luas. “Dari ketidakseimbangan lahirnya keseimbangan, dan dari sini kita belajar untuk memahami dualitas kehidupan,” ujarnya, menghubungkan proses kreatif dengan konsep spiritual yang lebih luas.
Melalui penampilan ini, Boby Ari Setiawan mengajak kita untuk merenungkan pentingnya tradisi dalam konteks kekinian. Ia sangat menyadari bahwa apa yang dikembangkan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masyarakat sebagai upaya kolektif menghidupkan kembali akar budaya dalam tantangan modernitas.
Bobby sebagai seorang koreografer yang lulus dari ISI Solo menunjukkan dedikasi dan konsistensi dalam meneliti bentang antara tradisi dan modernitas. Melalui komunitas seni yang ia pimpin di Jakarta, ia terus berupaya memperkenalkan tari Jawa dalam format yang dapat diterima oleh generasi muda tanpa kehilangan esensi asli.
ARTJOG 2025, dengan panggung performanya, memberikan ruang bagi seniman untuk tidak hanya mengekspresikan kreativitas mereka namun juga mengajak audiens untuk merenungkan makna dari amalan pribadi, sosial, dan spiritual. Dengan pendekatan ini, kita semua dapat belajar untuk lebih menghargai tradisi, sambil terus berinovasi dan menciptakan masa depan yang harmonis.